Tumpeng tingkat berawal dari budaya masyarakat Jawa, Bali dan Madura. Namun, dalam perkembangannya, tumpeng kemudian banyak digunakan oleh masyarakat di luar pulau-pulau tersebut. Masyarakat di ketiga pulau tersebut mengenal tradisi ‘tumpeng’ dalam acara ‘selametan’ atau selamatan. Penggunaan tumpeng tersebut tidak terlepas dari makna filosofi yang terkandung di dalamnya. Tumpeng mengandung makna hubungan antara manusia dengan Tuhan dan alam semesta.
Hal ini bisa dilihat dari wujud tumpeng. Sebagaimana kita jumpai, umumnya tumpeng ditempatkan dalam wadah makanan bundar bernama tampah. Bentuk tumpeng seperti kerucut di ujungnya. Tradisi tumpeng sebenarnya sudah ada di ketiga pulau di atas sejak lama. Konon, tradisi itu sudah jauh sebelum Hindu masuk. Makna dari tumpeng adalah memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para leluhur atau nenek moyang. Seiring dengan masuknya Hindu ke Nusantara, khususnya ke Jawa, Tumpeng dimaksudkan meniru gunung suci Mahameru, yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa.
Dalam perkembangannya, Islam kemudian masuk ke Nusantara, termasuk ke Jawa. Di Jawa Islam disebarluaskan oleh Wali Sanga. Dalam dakwahnya para wali menggunakan atau memanfaatkan tradisi-tradisi lama yang kemudian diakulturasi, sehingga nilai-nilai Islami bisa dimasukan di dalamnya. Cara ini diambil demi memudahkan masyarakat menerima ajaran Islam yang sebelumnya telah terpengaruh kuat dengan ajaran Hindu. Tak mengherankan jika tradisi di masa Hindu pun tak lantas bisa dihilangkan begitu saja, termasuk tumpeng.
Tumpeng tingkat yang dalam tradisi Hindu dimaknai sebagai tiruan gunung Mahameru, dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa kemudian diartikan sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Allah SWT. Bentuknya yang lancip menuju ke atas disarikan maknanya sebagai bentuk ke-Esaan ‘yang di atas’, yaitu Allah SWT.
Tumpeng sendiri dalam Bahasa Jawa merupakan akronim dari yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Selain tumpeng, sebenarnya ada satu lagi unit makanan yang bernama ‘Buceng’ yang terbuat dari ketan. Buceng sendiri adalah akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh). Di sekeliling tumpeng biasanya terdapat makanan berupa lauk pauk berjumlah 7 macam. Pemilihan jumlah lauk ini dimbil dari angka 7 (Bahasa Jawa; baca: pitu) yang berarti Pitulungan (pertolongan).
Makna yang lebih luas dari hal tersebut sebenarnya adalah ingin menyebarkan doa dalam surah al Isra’ ayat 80: “Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan”.
Merujuk beberapa ahli tafsir, doa tersebut dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Sehubungan dengan hal tersebut, para wali ingin mengajarkan bahwa bila seseorang berhajatan dengan menyajikan Tumpeng tujuannya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar mendapatkan kebaikan dan terhindar dari keburukan. Selain itu, manusia jika ingin mendapatkan sesuatu, maka harus berusaha dengan bersungguh-sungguh.
Demikian, kira-kira filosofi di balik Tumpeng Tingkat. Dengan mengetahui makna di baliknya, semoga kita tidak sekedar menganggap tumpeng sebagai bagian dari seremoni pada tradisi, tetapi lebih bisa memaknai filosofi di balik makanan tersebut.